
17 Agustus 1945, dari Jakarta
dikumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno-Hatta atas
nama rakyat Indonesia. Rakyat di Sumatera Barat secara resmi belum
dapat menerima informasi yang jelas tentang merdeka, sungguhpun masa itu
Indonesia telah dalam suasana “Fajar Kemerdekaan” seperti yang telah
diumumkan berdirinya Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
(Dokuritsu Zyumbi Chosa Kai) di Jakarta (28 Mei 1945).
Suasana pada
waktu itu memperlihatkan masih berkuasanya pemerintahan militer Jepang,
para tawanan perangnya sudah dilepaskan. Kesatuan-kesatuan Gyu-gun dan
Heiho (Lasykar Rakyat dan Tentara Sukarela Jepang) yang terdiri dari
putera-putera Indonesia telah dibubarkan dan senjata-senjata dihimpun
oleh pihak Jepang. Kantor-kantor pemerintahan sipil dan polisi tetap
berjalan sebagaimana biasa tapi unsur pimpinan yang dipegang oleh Jepang
sudah tidak menentu.
Dalam kota Padang dan sekitarnya pada
masa itu terdapat beberapa unit kepolisian, seperti: Kepolisian
Keresidenan Sumatera Barat (Nishi Kaiganshu Keimubu), Kantor Polisi Kota
Padang (Padang Si Keisatususho), Kantor Polisi Padang Luar Kota (Padang
Si-gai Keisat susho) dan Pasukan Istimewa Polisi (Tokubetsu Keisat
sutai). Kantor Polisi Kota Padang berlokasi di pusat kota (sekarang:
bahagian muka Polres Padang, Jl. Moh. Yamin). Kantor Polisi Padang Luar
Kota di Jl. Jati (sekarang: kompleks Rumah Sakit POLRI Polda Sumbar) dan
Tokubetsu-tai bermarkas di kompleks Seminari Katolik di Belantung
(sekarang: kompleks Yos Soedarso, Jl. Sudirman). Semua unit-unit
kepolisian tersebut dibawah pimpinan orang-orang Jepang, kecuali Polisi
Padang Luar Kota mempunyai pimpinan orang Indonesia (Keishi Kaharuddin
Dt. Rangkayo Basa). Pada tanggal 21 Agustus 1945, empat orang perwira
polisi yang berpangkat Keishi (Komisaris Polisi) di Sumatera Barat
dipanggil oleh Keimubucho (Kepala Polisi Sumatera Barat) dan diberi tahu
bahwa Perang Asia Timur Raya telah berhenti. Diminta oleh Kepala Polisi
Jepang itu supaya semua senjata-senjata polisi dikumpulkan. Permintaan
Keimubu-cho itu tidak dapat diterima oleh perwira-perwira polisi
tersebut, malah mereka menuntut supaya pihak Jepang segera menyerahkan
pimpinan kantor-kantor Polisi kepada orang Indonesia. Empat perwira
polisi Indonesia itu adalah: Raden Soelaiman, Ahmadin Dt. Berbangso,
Kaharuddin Dt. Rangkayo Basa dan Soelaiman Effendi.
Pada tanggal 28 Agustus 1945 malam,
diadakan lagi perundingan antara pihak Indonesia (Ahmadin, Kaharuddin
dan Soelaiman Effendi) dengan pihak Jepang (Keimubu/Kepolisian dan
Honbu/Pemerintahan) di jalan Mawar (gedung bekas Konsulat Inggris, di
sebelah hotel Muara sekarang). Kesimpulan yang dapat dikemukakan Jepang,
bahwa pihak Jepang tidak akan menyerahkan kantor-kantor pemerintahan
dan kepolisian kepada pihak Indonesia tanpa ada ketentuan yang diberikan
oleh Pimpinan Tertinggi Tentara Sekutu di Singapura. Sebelum pertemuan
diakhiri pihak Indonesia memberikan pernyataan pula: “Besok kami akan
mengibarkan bendera merah putih, janganlah pihak Jepang menghalanginya”.
Menjelang jam 22.00, tiga orang perwira polisi tersebut meninggalkan
tempat berunding dan jalan Mawar dikawal oleh Kenpeitai (Polisi Tentara
Jepang). Sesampai di persimpangan lima ujung Kampung Jawa, kelihatan
Keibu (Inspektur Polisi) Bachtaruddin dari Tokubetsutai bersama beberapa
orang pimpinan pemuda di Padang telah menunggu untuk mengetahui hasil
perundingan dengan pihak Jepang. Pada malam itu juga Bachtaruddin
mendapat tugas dengan bantuan para pemuda-pemuda menge-rahkan massa
rakyat untuk hadir meramaikan pengibaran bendera merah putih yang akan
dilakukan di Kantor Besar Polisi pada esok pagi 29 Agustus 1945.
Kira-kira jam 07.00 pagi tanggal 29
Agustus 1945 di sepanjang jalan sebelah Utara lapangan Nanpo Hodo
(sekarang: lapangan Imam Bonjol), dari samping kantor Pos, di muka
kantor Polisi dan di muka kantor Syuchokan (sekarang: Balai Kota Padang)
terlihat anggota masyarakat ramai, tua muda, pemuda-pemuda termasuk
pelajar-pelajar berkelompok kelompok berkumpul ingin menyaksikan upacara
pengibaran/penaikan bendera Merah Putih pada gedung-gedung pemerintah.
Dalam pada itu serdadu-serdadu Jepang
bersenjata lengkap meng-adakan penjagaan-penjagaan di keliling keramaian
rakyat, namun tidak ada terjadi insiden-insiden. Penggerekan bendera
Merah Putih di muka Kantor Polisi Padang dilakukan oleh anggota Polisi
sendiri, sedangkan penaikan bendera Merah Putih di gedung Syuchokan
dilaksanakan oleh pemuda-pemuda dan yang di kantor Pos Padang bendera
Merah Putih dinaikkan oleh pemuda PTT yang sebenarnya adalah juga
pegawai pos, telegraf dan telepon di kota Padang. Dapat dicatat, bahwa
sebelum terjadi peristiwa penaikan bendera Merah Putih di tengah kota
Padang ini, telah lebih dahulu berkibar Merah Putih di markas BPPI
(Balai Penerangan Pemuda Indonesia) jl. Pasar Mudik pada tanggal 21
Agustus 1945 dan di Kantor Polisi Padang Luar Kota Jalan Jati pada
tanggal 23-8-1945. Seselesainya upacara pengibaran bendera Merah Putih
di muka Kantor Polisi Kota Padang, pada pagi 29-8-1945 itu juga
peristiwa penting ini diberitakan dengan telepon kepada semua kantor
Polisi Wilayah se Sumatera Barat, dijelaskan pula bahwa pimpinan
kepolisian sudah berada di tangan orang Indonesia. Diinstruksikan kepada
pejabat-pejabat polisi bangsa Indonesia yang tertinggi pangkatnya pada
kantor Polisi Wilayah supaya mengambil alih pimpinan. Malam tanggal
29-8-1945, dimulai jam 19.00 diadakan rapat para perwira senior polisi
bertempat di Kantor Besar Polisi Kota Padang. Malam itu disepakati
susunan dan personalia Polisi RI Sumatera Barat sebagai berikut:
- Raden Soelaiman, sebagai Kepala Polisi Sumatera Barat, merangkap Kepala Polisi Kota Padang
- Ahmadin Dt. Berbangso, sebagai Wakil Kepala Polisi Sumatera Barat;
- Soelaiman Effendi, sebagai Kepala Administrasi merangkap Kepala Siasat/Politik pada Kantor Besar Polisi Sumatera Barat;

KAHARUDDIN Dt. Rangkayo Basa (alm),
sosok warga POLRI yang pertama ditugaskan pemerintah RI untuk menjabat
Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Barat (1958-1965).
Menjelang April 1946, perjuangan rakyat
di dalam kota Padang dan sekitarnya makin meningkat dalam menentang
kehadiran NICA yang membonceng bersama tentara Sekutu, yang tadinya akan
bertugas untuk penyelesaian tawanan perang Jepang. Sejak Kota Padang
dan sekitarnya menjadi kancah perjuangan atau arena bentrokan antara
pejuang Republik Indonesia dengan Sekutu/Belanda, tentu saja POLRI
bersikap melindungi para pejuang kemerdekaan, sungguhpun dari segi
keamanan tindakan mereka tidak dapat dipertanggung jawabkan dalam dunia
damai. Pengalaman-pengalaman rumit pula adalah menentukan kesepakatan
antara POLRI dengan pemuda pejuang/BKR (yang dinamakan pihak Belanda
sebagai “extremist”) dalam menentukan wewenang dan tanggung jawab bidang
keamanan dalam kota.
Pada awal tahun 1946 ini pula kedudukan
pusatpemerintahan Sumatera Barat pindah ke Bukittinggi. Dalam masa
peralihan itu terjadi mutasi dalam beberapa jabatan Kepolisian Sumatera
Barat. Komisaris Polisi I Darwin Karim menjadi Kepala Kepolisian
Keresidenan Sumatera Barat.
Dengan kepindahan para perwira senior
polisi dari Padang ke Bukittinggi, Kaharuddin Dt. Rangkayo Basa mendapat
tugas untuk membina dan mengembangkan organisasi Polisi Istimewa.
Latihan-latihan bagi Polisi Istimewa ini dimulai tanggal 13 Mei 1946
sampai 17 Agustus 1946 berlokasi di kompleks polisi, Jl. Birugo
Bukittinggi (sekarang kompleks SMA Negeri 2). Para instruktur pada
latihan Polisi Istimewa tersebut terdiri dari para perwira Polisi dan
TRI dan pejabat pemerintahan sipil.
Seselesainya latihan Polisi Istimewa, di
Bukittinggi diresmikan oleh Kepala Kepolisian Keresidenan Sumatera Barat
berdirinya “Barisan Istimewa Polisi” (BIP). Anggota-anggota BIP ini
anggotanya diambil dari para tamatan latihan Polisi Istimewa Bukittinggi
dan pilihan dari anggota-anggota Polisi yang berpengalaman dalam
perjuangan di front Padang. Sebagai komandan untuk BIP Sumatera Barat
diangkat Inspektur Polisi I Amir Mahmud terhitung mulai September 1946.
Kemudian dalam penyeragaman istilah kesatuan-kesatuan POLRI, BIP
Sumatera Barat menjelma menjadi Mobiele Brigade Sumatera Barat (Nama
Mobiele Brigade/MOBBRIG kemudian menjadi Brigade Mobil/BRIMOB).
Terhitung mulai 3 Maret 1946, Johny Anwar
mendapat tugas memangku jabatan Kepala Polisi RI Kota Padang dengan
pangkat Komisaris Polisi II. Kedudukan Kepala Polisi Kota Padang yang
penuh tantangan menghadapi perlawanan terhadap kekuasaan Belanda dengan
antek-anteknya dapat bertahan sampai dilancarkannya oleh pihak Belanda
Agresi Militer I (21-7-1947). Aksi Militer I Belanda di sekitar Padang
didahului dengan penangkapan terhadap aparat Republik Indonesia (pegawai
sipil dan polisi) termasuk Komisaris Polisi II Johny Anwar. Sejak
mulainya Agresi Militer I Belanda dilancarkan, para pegawai sipil dan
polisi yang republikein pada meninggalkan kota Padang dan pindah ke
wilayah RI di luar kota. Resminya hari tgl. 27 Desember 1949, yaitu hari
Penyerahan Kedaulatan Belanda kepada RIS (Republik Indonesia Serikat)
dilangsungkan penyerahan pemerintahan kota Padang dari Residen HTB
(“Hoofd Tijdelijk Bestuur”) Van Straten kepada Gubernur Sumatera Tengah
Mr. M. Nasroen.
Pada tanggal 17-8-1950 dengan resmi RIS
dibubarkan dan kembalilah Republik Indonesia sebagai suatu negara
kesatuan di nusantara. Polisi Kota Padang yang tadinya berstatus polisi
RIS dengan personalia orang Belanda dan “kaum cooperator” lagi-lagi
mengadakan mutasi pimpinan. Untuk mengganti jabatan-jabatan yang
ditinggalkan “orang-orang Belanda” itu, diangkatlah oleh Pemerintah RI
warga polisi orang Indonesia yang republikein. Dalam hal ini Kaharuddin
Dt. Rangkayo Basa (Komisaris Polisi I) diberi jabatan Kepala Polisi Kota
Padang dan sekitarnya dalam rangka membentuk struktur dan penempatan
personalia yang sesuai dengan organisasi Polisi Republik Indonesia
(Padang, Juni 1945).